Tradisi Saparan di Desa Ngablak
Islam datang ke wilayah Indonesia
khususnya Magelang jauh sebelum Wali Songo datang. Penyebaran islam di
Jawa juga dibungkus oleh ajaran-ajaran terdahulu, bahkan terkadang melibatkan
aspek kejawen sebagai jalur penyebarannya. Walisongo memiliki andil besar dalam
penyebaran islam di Tanah Jawa.
Magelang berada di tengah-tengah pulau Jawa, baik ke arah
timur, maupun arah barat, begitu ke utara maupun ke selatan. Di tengah-tengah
itu ada sebuah gunung kecil yang bernama gunung Tidar. Menurut cerita tempat
itulah pertama kali seorang Muslim memijakkan kakinya di tanah Jawa dan beliau
juga di makamkan di sana.
Kota
Magelang dikelilingi banyak gunung, dan masing-masing warga di sekitar gunung
tersebut mempunyai tradisi untuk mengapresiasikan rasa syukur mereka kepada
Tuhan Yang Maha Esa, yaitu dengan mengadakan saparan yang berada di desa Ngablak
dan dilaksanakan setiap setahun sekali.
Bulan Sofar
atau lebih dikenal dengan bulan Sapar bagi masyarakat Indonesia khususnya orang
Jawa, adalah bulan ke dua dalam penanggalan tahun hijriyah. Di berbagai daerah
di pulau Jawa banyak sekali tradisi yang dilaksanakan di bulan sapar ini. Sebut
saja saparan di sekitar lereng Gunung Andong. Dari berbagai daerah yang
melaksanakan tradisi saparan ini masing-masing mempunyai maksud dan tujuan yang
hampir sama antara satu daerah dengan daerah lainnya. Namun secara umum maksud
dan tujuan dari pelaksanaan tradisi saparan ini adalah memohon kepada Tuhan
Yang Maha Esa agar senantiasa diberi keselamatan dalam mengarungi kehidupan
ini. Di beberapa desa menganggap pelaksanaan tradisi saparan tidak lengkap bila
tidak menggelar aneka pagelaran kesenian tradisional. Salah satu kesenian
tradisional yang seakan-akan wajib dilaksanakan di beberapa desa adalah wayang
kulit, dendangan lagu-lagu jawa, cerita-cerita kuno, hingga upacara-upacara
tradisi yang dikembangkan di masyarakat.
Bulan
sapar bagi sebagian warga merupakan bulan yang dinanti-nanti. Sebagian
anak-anak (bahkan juga orang dewasa) menyebutnya sebagai bulan penuh gizi.
Mengapa tidak? Pada bulan sapar, sudah menjadi tradisi mereka saling
berkunjung. Salah satu rangkaian pelaksanaan tradisi saparan di daerah ini
adalah saling mengundang. Biasanya yang diundang adalah saudara dekat, teman,
kenalan sampai relasi bisnisnya. Waktu pelaksanaan saparan yang berbeda antara
desa yang satu dengan yang lainnya, memungkinkan mereka saling berkunjung.
Bahkan tidak jarang mereka juga mengundang saudara atau rekan dari luar kota.
Bagi sebagian warga yang sedang merantau diluar kota juga menyempatkan untuk
pulang kampung sekedar merayakan saparan ini.
Beberapa Acara dalam Tradisi Saparan
1 Sabelum
acara saparan dimulai ada ‘nyadran’, yaitu acara bersih-bersih ke makam,
itu tujuannya selain warga bisa berkumpul bersama juga sebagai
kebersamaan karena kalau dilakukan sendiri-sendiri akan merasa berat. Nyadran
dilakukan karena makam-makam didusun tidak dikasih nisan, hanya sebatang kayu,
jadi kalau tidak dibersihkan maka akan tumbuh rumput dan lama kelamaan kalau
tidak dibersihkan nanti akan hilang. Acara seperti itu tidak harus, misalkan
tidak dilakukan juga tidak apa-apa. Selang sehari kemudian diadakan pengajian
umum yang dilaksanakan pada siang hari setelah waktu Dzuhur.
2 Pada
malam hari sebelum acara inti, para warga berkumpul di rumah bapak bayan
(dukuh) untuk memanjatkan do’a kepada Yang Maha Esa, di mulai dengan berdo’a
bersama acara sesaji yang didalamnya ada beraneka macam makanan dan minuman,
itu semua mempunyai makna, kata sesaji itu berasal dari kata ‘ngajeni’ yaitu
dengan mendatangkan orang-orang untuk ngaji bersama setelah selesai mereka
di’ajeni’ atau dijamu dengan makanan-makanan yang ada dalam sesaji tersebut.
Jadi sesaji itu bukan dipersembahkan buat makhluk halus, melainkan untuk diri
sendiri, kalau misalkan tidak dilakukan akan mendatangkan bahaya, hal seperti
itu tidak di benarkan kalau memang demikian justru harus diluruskan.
3. Acara
puncak, yaitu dari keluarga tokoh masyarakat, mendatangkan sanak saudara dan mengundang
warga lain yang bertujuan untuk mempererat tali silaturahmi dan bisa berkumpul
bersama dengan disuguh sebuah kesenian daerah. Acara puncak ini juga dihadiri
oleh warga lain desa, kebanyakan mereka bertujuan hanya untuk mencari keramaian.
Hal-hal yang perlu ditinjau ulang
menurut kami: terutama dalam hal penjamuan, karena sangat berlebihan dalam
menjamu, hampir rata-rata satu kepala keluarga bisa menghabiskan uang sebesar
satu juta rupiah dalam satu hari, itu akan diraskan begitu beratnya bagi mereka
yang bisa dikatakan warga yang kurang mampu dengan harus mengeluarkan dana
sebesar itu, mungkin dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka sudah berjuang
dengan susah payah, apalagi harus ditambah dengan beban biaya yang lebih berat.
Dari pihak yang diundang pun mereka harus bergantian mengundang, apabila di
dusunnya ada saparan, itu juga akan menambah beban seperti mempunyai ikatan.
Itu yang dapat kami sampaikan dari pengaaman kami mendatangi
acara saparan. Semoga bermanfaat yaaaa J
Luv
No comments:
Post a Comment